Saturday, 22 June 2013

Sejarah Pesawat N250 Indonesia Yang Memilukan

Kutipan Majalah Tempo:
Bandung, 10 Agustus 1995.
Bandar Udara Husein Sastranegara, Bandung, diliputi keriangan suasana perhelatan. Presiden Soeharto bersama seluruh pejabat terpenting Republik tumplek ke lapangan terbang itu. Sementara itu, jauh di atas angkasa, pesawat N-250 Gatotkaca tengah melesat sembari menorehkan momen-momen emas dalam sejarah kedirgantaraan Indonesia.

Tepuk tangan bergemuruh saat Erwin Danuwinata, pilot penguji pesawat komuter N-250 Gatotkaca—berkapasitas 70 penumpang—mendaratkan pesawatnya dengan mulus di landasan setelah terbang perdana selama 56 menit. Presiden Soeharto, yang tak mampu menahan rasa harunya, berpidato: “Keberhasilan uji coba penerbangan pesawat N-250 adalah tonggak bersejarah bagi seluruh bangsa Indonesia karena berhasil merancang sendiri pesawat modern.”

Presiden menambahkan, pesawat N-250 adalah produk andalan PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) karena dirancang bangun sepenuhnya oleh putra-putri Indonesia. Penerbangan tersebut sekaligus menjadi hadiah istimewa bagi Republik Indonesia, yang sepekan kemudian merayakan hari jadi ke-50.

Pertanyaan berikutnya adalah dimana N-250 sekarang??
Saya akan bercerita sedikit tentang N-250,

Performa Pesawat


Pesawat ini menggunakan mesin turboprop 2439 KW dari Allison AE 2100 C buatan perusahaan Allison. Pesawat berbaling baling 6 bilah ini mampu terbang dengan kecepatan maksimal 610 km/jam (330 mil/jam) dan kecepatan ekonomis 555 km/jam yang merupakan kecepatan tertinggi di kelas turprop 50 penumpang. Ketinggian operasi 25.000 kaki (7620 meter) dengan daya jelajah 1480 km.

Berat dan Dimensi


Rentang Sayap : 28 meter
Panjang badan pesawat : 26,30 meter
Tinggi : 8,37 meter
Berat kosong : 13.665 kg
Berat maksimum saat take-off (lepas landas) : 22.000 kg














Sejarah

Rencana pengembangan N-250 pertama kali diungkap PT IPTN (sekarang PT Dirgantara Indonesia, Indonesian Aerospace) pada Paris Air Show 1989. Pembuatan prototipe pesawat ini dengan teknologi fly by wire pertama di dunia dimulai pada tahun 1992. Pesawat ini terbang selama 55 menit pada tanggal 10 Agustus 1995.
Pada saat itu saingan pesawat ini adalah ATR 42-500, Fokker F-50 dan Dash 8-300.
Kalau anda membaca spesifikasi tersebut maka anda akan menemukan bahwa N-250 adalah pesawat turboprop pertama yang menggunakan teknologi fly by wire.Jadi sebenarnya apa yang salah sehingga pesawat ini belum juga dapat diproduksi kemudian dijual??

Kita harus ingat bahwa pesawat terbang sipil dan militer memiliki syarat yang berbeda agar mereka dapat diijinkan untuk dapat dijual. N-250 sebagai pesawat sipil harus memenuhi syarat dari ICAO, yaitu bahwa setiap pesawat sipil sebelum dapat dijual harus memenuhi syarat mendapat sertifikasi dari beberapa negara (saya lupa jumlah negara yang harus memberi cleareance) yang menyatakan bahwa pesawat tersebut layak beroperasi dibeberapa negara dengan iklim yang berbeda.

Seingat saya, terakir N-250 sempat melakukan ujicoba dinegara norwegia, untuk menguji bahwa N-250 layak beroperasi dinegara dengan iklim dingin. Tetapi kemudian pada tahun 1997-1998 krisis finansial menimpa negara tercinta kita.. Syarat agar IMF mau mengucurkan dana kepada kita adalah semua subsidi untuk IPTN (sekarang PT Dirgantara Indonesia) harus dicabut. Maka berakhir pula proyek N-250, karena IPTN tidak memiliki sumber dana lagi untuk mengadakan sertifikasi dibeberapa negara, karena selama ini penghasilan IPTN hanya berasal dari subsidi pemerintah dan kontrak pembelian pesawat yang  dilakukan oleh TNI dan beberapa negara ASEAN yang nilainya sangat kecil, bahkan kontrak pembelian pesawat CN-235 pernah tidak dibayar dengan uang (anda masih ingat ketika pesawat produksi IPTN dibayar dengan beras ketan oleh pemerintah Thailand?).. Sehingga sampai sekarang N-250 belum dapat dijual oleh PT. DIkarena masih terganjal masalah sertifikasi…

Sedikit curhat soal IPTN, menurut saya, IPTN juga mengalami kesalahan organisasi. Sebagai industri yang bergerak dibidang padat modal, IPTN mengalami masalah tenaga kerja yang membengkak hingga 9,000 orang (yang sebagian besar harus dirumahkan pada tahun 2003) hingga membuat masalah pada penggajian, karena sebagian besar pendapatan IPTN berasal dari subsidi pemerintah. Selain itu fokus IPTN seharusnya pada pesawat latih yang tidak perlu terlalu banyak sertifikasi seperti pesawat transport sipil. Oh ya, jgn lupa soal engineer kita yang bekerja keluar negeri setelah IPTN kolaps, isu terakhir menyebutkan engineer kita turut membantu modernisasi f-14 milik Iran lho….

Kembali ke masalah N-250, mungkin kah proyek ini dihidupkan kembali??
Pertengahan tahun lalu, didalam majalah angkasa engineer PT DI berencana untuk menghidupkan kembali
N-250 menjadi N-250R yaitu N-250 tanpa menggunakan fly by wire (agar harga pesawat bisa kompetitif dengan pesaing dikelasnya).

Saya percaya teman-teman di PT DI mampu membuat N-250 terbang kembali, pertanyaan saya adalah apakah tersedia pasar untuk pesawat transpor menggunakan baling-baling?? Jika anda diharuskan memilih maka saya yakin anda akan memilih menggunakan pesawat jet dibanding pesawat menggunakan baling-baling iya kan?? Lagipula negara ini bukan seperti China, yang begitu mampu memproduksi pesawat sendiri, maka maskapai penerbangan dalam negeri akan langsung berbondong-bondong mengantri untuk membelinya..

Saya jadi teringat perkataan seorang pejabat negara beberapa waktu lalu, ketika Merpati diminta untuk menegosiasikan (baca: menunda) pembelian pesawat dari China.. Ia langsung, menyarankan agar Merpati menggunakan saja N-250.. semoga semakin banyak pejabat negara seperti dia… Kalau tidak mulai dari sekarang, kapan lagi kita akan menggunakan produk dalam negeri…

Sumber :
http://aannurefendi.wordpress.com/2012/03/17/sejarah-pesawat-n250-indonesia-yang-memilukan/

0 comments:

Post a Comment